KAMPUS, Malangpost.id – Salah satu hal yang merisaukan dunia pendidikan Indonesia saat ini adalah rendahnya literasi membaca siswa.
Hal itu disampaikan oleh Prof Dr Endah Tri Priyatni MPd, Guru Besar Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.
Sebab itu, ia meneliti dan mengusulkan strategi berupa Pertanyaan Provokatif 3T (Tersurat – Tersirat – Tersorot), untuk menguatkan literasi bagi guru dan siswa.
Pertanyaan provokatif sendiri merupakan pertanyaan yang mendorong untuk berpikir. Dalam pembelajaran, menurut Prof Endah cara itu sangat efektif.
Sayangnya juga sangat terlupakan.
Upaya pemerintah sendiri dalam peningkatan literasi, adalah dengan menggantikan Ujian Nasional dengan Assesment Nasional.
“Menggantikan Ujian Nasional, karena dianggap Ujian Nasional itu tidak membangun literasi. Baik itu membaca, sains, maupun literasi numerasi,” jelasnya, Rabu (16/12/2021).
Endah menambahkan, pemerintah tengah mengembangkan Assesment Nasional yang mengikuti PISA (Programme for International Student Assesment).
Baca Juga: Studi Tim Peneliti UM sebut Anak dan Remaja Rentan Terpapar Produk Rokok
PISA merupakan salah satu sistem penilaian internasional yang terlaksana tiga tahun sekali. Gunanya untuk menguji literasi suatu negara melalui anak-anak usia 15 tahun.
Tiga Cara Mengukur Literasi Membaca
Endah lantas menuturkan, setidaknya ada tiga cara untuk mengukur literasi membaca.
Pertama menemukan dan mengakses informasi, mengunduh informasi, dan bagaimana menjelaskan informasi yang tersurat.
Kedua bagaimana cara menginterpretasikan dan mengintegrasikan informasi, lalu memadukan informasi antar bagian teks untuk menghasilkan inferensi (memahami informasi tersirat).
Kemudian ketiga adalah menilai kredibilitas, kesesuaian maupun keterpercayaan teks, serta mampu mengaitkan isi teks dengan hal di luar teks (informasi tersorot).
“Cara ketiga yang tertinggi, sebab pasti ada penalarannya. Kalau anak mendirikan penilaian pasti ada pertanyaan mengapa, itu fokus literasi membaca,” tutur Endah.
Sejalan dengan tiga aspek penilaian tersebut, maka dalam pembelajaran perlu membudayakan pertanyaan provokatif 3T.
Pertanyaan untuk menemukan informasi tersurat (reading on the lines), tersirat (reading in the lines), dan tersorot (reading beyond the lines).
Itu berlaku untuk setiap mata pelajaran apa pun. Sebab mata pelajaran pasti berbentuk teks. Baik teks tulis, visual, maupun audio visual.
“Ketika anak-anak dihadapkan teks untuk membaca, pasti dia harus memahami apa yang tersurat, apa yang tercantum, kemudian dia menginterpretasi apa yang ada didalamnya,” jelas Endah.
Pertanyaan Provokatif untuk Semua Tingkatan Siswa
Selain itu, pertanyaan provokatif juga dapat diaplikasikan pada semua tingkatan siswa. Bahkan pertanyaan provokatif 3T sudah terjadi saat usia pra-sekolah.
Namun saat usia menginjak usia sekolah, menurutnya pertanyaan tersebut justru berhenti. Padahal itu adalah alat pembelajaran yang sangat efektif, sehingga perlu untuk terus dibudayakan.
Baca Juga: Jadi PTNBH, UM Tekankan Misi Sebagai Kampus Unggul Rujukan Asia
Berdasarkan penelitian yang pernah ia lakukan, Endah mengaku bahwa membuat pertanyaan provokatif 3T ternyata sulit.
Maka dari itu perlu sebuah gerakan bagi semua guru untuk membangun pertanyaan provokatif itu.
“Saat penelitian, itu pengetahuan menggunakan pertanyaan provokatif itu sangat bagus dan berhasil. Tapi saat praktik guru membuat pertanyaan, malah yang keluar pertanyaan umum-umum saja,” imbuhnya.
Sebab guru-guru masih belum siap dan terbiasa mengajukan pertanyaan, terutama yang tersurat dan tersorot.
“Guru-guru belum mau, padahal pertanyaan itu bisa melatih dan membentuk keterampilan siswa untuk bernalar,” pungkasnya.