Aksi Tritura menggulingkan Pemerintah Orde Lama?
FEATURES, malangpost.id – 10 Januari 2021 merupakan peringatan ke-55 Hari Tritura. Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) merupakan tiga poin tuntutan para mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) yang diserukan kepada pemerintah Orde Lama pada tahun 1965.
Seperti apa fakta dan sejarah hari Tritura? Simak ulasan singkat malangpost.id dari berbagai sumber.
Latar belakang Tritura
Di tahun 1960-an, kondisi di Indonesia sangat bergejolak dan mengalami kesulitan. Kebijakan Presiden Soekarno yang anti-neo kolonialisme dan neo-imperialisme menyebabkan Indonesia kehilangan dukungan dari luar negeri, baik di bidang politik maupun ekonomi.
Saat itu, inflasi di Indoensia sangat tinggi dan harga-harga membumbung tinggi. Pada tahun 1966, inflasi mencapai 600 persen. Untuk menurunkan harga, Presiden Soekarno pun harus menunjuk seorang menteri, meskipun tidak berhasil.
Ketika Gerakan 30 September (G30S) meletus, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dekat dengan Presiden Soekarno dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan tujuh jenderal TNI. Sentimen anti-PKI dan anti-Soekarno berkembang sehingga kondisi politik semakin kacau.
Memasuki tahun 1966, mahasiswa dan rakyat menggelar demonstrasi memprotes Presiden Soekarno yang tak banyak berbuat saat itu.
Isi Tritura
Pada 10-13 Januari 1966, KAMI, KAPPI, dan kesatuan-kesatuan aksi lainnya seperti KABI, KASI, KAWI, dan KAGI yang tergabung dalam Front Pancasila berunjuk rasa di halaman gedung DPR-GR menuntut Tritura. Isi tuntutan tersebut adalah:
- Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI)
- Pembersihan Kabinet Dwikora yang terlibat G30S
- Penurunan harga dan perbaikan ekonomi
Namun, Presiden Soekarno tak memenuhi tuntutan ini. Ia dan para menterinya mengganggap aksi mahasiswa dan rakyat hanya sebuah usaha ‘Membelokkan jalannya revolusi ke kanan’. Sehingga unjuk rasa terus terjadi dan meluas.
Aksi Terus Berlanjut
Saat itu, Presiden Soekarno melantik Kabinet Dwikora (Kabinet ke-21) sebagai upaya untuk meredam tuntutan rakyat. Konsisten dengan tuntutannya, pemuda dan mahasiswa terus melakukan gerakan menentang Orde Lama. Puncaknya saat pelantikan Kabinet Dwikora pada 24 Februari 1966.
Mahasiswa dan pemuda melakukan boikot untuk memprotes dan menentang pelantikan kabinet. Selain itu, mereka juga menuding Presiden Soekarno meremehkan tuntutan rakyat. Aksi pemuda dan mahasiswa dihadang oleh Pasukan Cakrabirawa dan bentrokan pun terjadi. Dalam insiden itu, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Arief Rachman Hakim gugur.
Kemudian KAMI dibubarkan pada 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan Pangliman Komando Ganyang Malaysia (Kogam) Presiden Soekarno. Hal ini membuat mahasiswa, pelajar, dan rakyat dibuat semakin gusar dan mereka terus maju dan melawan.
Situasi semakin memanas dan mahasiswa melakukan demonstrasi secara besar-besaran di depan Istana Negara dengan dukungan dari tentara.
Dampak dari Tritura
Aksi Tritura mencapai puncaknya pada 11 Maret 1966 dimana saat itu Presiden Soekarno akan melakukan sidang pelantikan Kabinet “Dwikora Yang Disempurnakan” atau dikenal dengan “Kabinet 100 Menteri”.
Mahasiswa kembali melakukan aksi turun ke jalan sejak pagi dan melakukan aksi mengempeskan ban-ban mobil untuk membuat jalanan macet.
Dengan kondisi yang semakin tak terkendali, terbit Surat Perintah Sebelas Maret atau dikenal dengan Supersemar. Supersemar berisi perintah dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan untuk mengembalikan stabilitas negara.
Supersemar menjadi alat Soeharto membubarkan PKI dan menangkap 15 menteri Kabinet Disempurnakan yang menjadi pendukung Soekarno. Supersemar juga menjadi pembuka jalan Soeharto memasuki fase kekuasaan. Perlahan-lahan, Presiden Soekarno tidak dipercaya masyarakat.
KAMI dan KAPPI terus melakukan demonstrasi pada 1-3 Oktober 1966 yang menuntut Presiden Soekarno memberikan pertanggung jawaban terhadap peristiwa Gerakan 30 September 1966. Pada 30 November, aksi semakin membesar dan massa mendesak agar Presiden Soekarno diadili pada 9-12 Desember 1966.
Atas desakan para mahasiswa dan juga TNI, akhirnya Presiden Soekarno menyerahkan kekuasan kepada Soeharto pada 20 Februari 1967. Soeharto resmi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada 7 Maret 1967 dan berkuasa selama 32 tahun.