BALAI KOTA, malangpost.id- Jumat (15/1) malam, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Forum Studi Mahasiswa Pengembang Penalaran atau yang biasa disingkat menjadi Fordi Mapelar Universitas Brawijaya mengadakan webinar bertajuk kelas Filsafat dengan topik pembahasan Feminisme. Kelas Filsafat ini merupakan agenda rutin Fordi Mapelar yang ditujukan kepada anggota serta masyarakat umum. Utamanya bagi mereka yang memiliki ketertarikan, sehingga memiliki wadah untuk menyalurkan pikirannya bersama-sama. Dalam webinar ini dijelaskan mengenai gelombang gerakan feminisme mulai dari gelombang pertama feminisme hingga gelombang keempat feminisme.
Turut hadir dalam webinar ini, pembina Fordi Mapelar sekaligus bertindak sebagai pemateri Wahyu Handayani, S.Pi., MBA., MP. Atau yang biasa disapa dengan sebutan Mbak Wahyu. Beliau juga tercatat sebagai anggota purna Fordi Mapelar. Anggota purna sendiri merupakan gelar yang disematkan bagi anggota Fordi Mapelar yang telah menyelesaikan studinya. hal ini sejalan dengan sifat keanggotaan Fordi Mapelar yang bersifat seumur hidup. Hingga akhir acara, peserta tercatat sebanyak 30 orang yang berasal dari anggota maupun non anggota Fordi Mapelar
Salah satu pembahasan menarik dalam webinar ini ialah kaitan antara gerakan feminisme dengan gerakan Lesbian Gay Bisexual dan Transgender (LGBT). Banyak orang yang seringkali mengaitkan antara gerakan feminisme dengan gerakan LGBT, padahal keduanya tidak serta merta satu kesatuan. Bahkan banyak orang yang secara sepihak menghakimi seorang yang setuju dengan gerakan feminisme maka, ia turut menyetujui gerakan LGBT.
Dalam penjelasannya, mbak Wahyu yang juga tercatat sebagai dosen Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan (FPIK) di Universitas Brawijaya ini turut menyampaikan bahwa seorang yang berhalauan feminisme belum tentu sepakat dengan gerakan LGBT. Ia mencontohkan dirinya sendiri. Sebagai feminis, ia tidak menyetujui LGBT. Utamanya dalam konteks reproduksi.
Hal ini disebabkan orang LGBT tidak bisa memiliki keturunan, sehingga hal ini akan kontra produktif dengan perkembangan suatu bangsa. Sebagai percontohan, Mbak Wahyu menjelaskan mengenai kejadian di Taiwan. Ia menjelaskan bahwa pada mulanya di Taiwan LGBT tidak dilegalkan, namun semenjak LGBT dilegalkan, banyak generasi taiwan yang memilih untuk menikah dengan sesama jenis.
Memang harus diakui jika, hal ini bukanlah sepenuhnya disebabkan para pelaku LGBT yang memilih untuk menikah sesama jenis. Faktor lain yang turut berkontirbusi ialah semakin enggannya orang Taiwan untuk menikah serta kecenderungan orang Taiwan untuk menunda memiliki anak.
Sebagai dampak keseluruhan faktor diatas adalah, tidak terpenuhinya angkatan kerja di Taiwan. Sehingga menyebabkan Taiwan harus mengimpor tenaga kerja. Meskipun hal ini menjadi keuntungan tersendiri bagi Indonesia, namun dalam sudut pandang negara Taiwan, hal ini tentunya menjadi suatu permasalahan tersendiri. Di titik itu, mbak Wahyu menjelaskan ketidak setujuannya atas gerakan LGBT.
Selain kaitan feminisme dan LGBT, mbak Wahyu turut memperjelas poin dari gerakan feminisme berupa kesetaraan gender. Sehingga pada dasarnya, feminisme dan LGBT tidak selalu berkaitan. Ia pun turut mengakui bahwa terdapat sebagian feminis yang tergolong cukup radikal yang turut memiliki kaitan dengan gerakan LGBT sehingga masyarakat seringkali mengaitkan kedua gerakan ini.